Setengah orang berpendapat bahwa soal kesenian itu hanya merupakan soal iseng (sambilan) belaka dalam rangka kehidupan perjuangan organisasi kita. Di antara banyak kawan, perhatiannya selalu ditumpahkan kepada soal-soal organisasi saja dengan tidak menghiraukan aktiviteit kita dalam soal-soal kesenian. Tidak hanya demikian, tetapi cemoohpun tidak kurang!
Bagi kawan-kawan yang membisu dalam soal kesenian, suasana selalu diliputi oleh sedemikian rupa. Kita harus bekerja, pekerjaan masih banjak. Kesenian itu 'kan hiburan! Nah kalau mendapati sementara kawan yang memetik gitar, memukul gamelan, berlagu, dan sebagainya, dengan secara spontan kritik datang bertubi-tubi, bagaikan senapan mesin yang memuntahkan peluru ke sarang lawan. Bung tak tahu kerja, Bung tak mengindahkan kesibukan... Sehingga kawan yang ditegur dan dikritik secara spontan dan dangkal tadi menjadi melongo keheranan.
Memang, kejadian semacam itu adalah tidak mengherankan, selama kita masih membisu pada soal cabang kebudajaan jang penting. Lupa, bahwa perjuangan kita ini masih jauh sulit dan berat, tapi juga besar dan indah. Kita berjuang untuk mencapai kemenangan. Tentu saja kita tidak menghendaki keterbelakangan atau kemandekan sekalipun! Tetapi dalam perjuangan kita ini, sekali-kali tentu terbentur kepada kekalahan. Tidak hanya demikian, justru sampai kepada kelesuan dan akhirnja tenggelam dalam laut keputus-asaan yang akan membekukan aktiviteit kita. Selanjutnya apa yang akan kita peroleh dari kebekuan-kebekuan tadi, sedikit banyaknya tentu akan merugikan organisasi kita.
Oleh karena itu menjadi masalah bagaimana kita harus mengembangkannya? Pahlawan-pahlawan seni mempunyai rol yang penting dan ikut menentukan dalam kehidupan perjuangan kita. Apakah dan dimanakah rol kesenian dalam perjuangan kita? Memang jika hanya dilihat secara dangkal, tidaklah nampak sedikitpun. Tetapi jika ditinjau secara mendalam, kita akan tahu bahwa dia tidak dapat kita pandang remeh, sambilan atau soal-soal hiburan semata. Pendapat ini akibatnya bukan hanya menganggap bahwa kesenian jadi soal sambilan, tapi sekaligus akan menempatkan kesenian di luar perjuangan kita. Jelas sekali bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak benar, yang harus segera kita berantas. Usaha ke arah ini, mulai sekarang harus kita intensifkan. Sebab di kalangan kita sampai pada saat ini, masih banyak sikap-sikap pendangkalan semacam tersebut.
Bagaimana keadaan kaum buruh perkebunan dewasa ini? Kesenian kaum buruh perkebunan dewasa ini nyata sekali berada dalam tingkat ke arah kemajuan. Mengapa tidak? Di sana sini nampak adanya organisasi-organisasi kesenian. Perkumpulan-perkumpulan yang baik ini, sebagian dipimpin langsung oleh organisasi, di mana pelaku-pelakunya (anggota) kesenian itu tergabung dalam salah satu SB di lapangan kerjanya. Sedangkan di daerah-daerah lain, mereka itu sendiri yang membentuk organisasi kesenian dan organisasi kesenian itulah yang memimpin langsung di dalam SB. Jadi bukan SBnja. Kesenian yang ada di kalangan kaum buruh perkebunan, ada beberapa macam, antaranya: ketoprak, wayang orang, ludruk, pencak, kecapi, sandiwara musik, tari-tarian buruh yang modern, juga regu-regu penyanyi koor dan masih banyak lagi. Malah di samping itu sudah nampak adanya pertumbuhan seni sastra dan lukis, misalnya saja di Air Molek dan Kajuaro. Suatu hal yang harus diakui, bahwa soal kesenian di lapangan kaum buruh perkebunan menunjukkan hari depan yang baik.
Beberapa kemajuan yang kita lihat, ialah adanya cerita-cerita sandiwara yang sudah baik. Misalnya: Tinah (diambil dari WS), Pemilihan Umum, Sabot Yang Gagal (dari HR), Pengusiran, dan sebagainya. Juga ketoprak-ketoprak dengan ceritanya: Untung Suropati, Diponegoro, Perang Banten, dan sebagainya. Tentu saja beberapa pelaku-pelakunya ada yang belum sempurna dalam melakukan rolnya. Di samping beberapa kemajuan, kita juga melihat kebekuan-kebekuan. Misalnya kumpulan kesenian itu tidak berkembang tapi malah mati. Walaupun tidak, tapi dia belum merupakan kesenian yang maju, dan mendorong perjuangan kita. Tetapi baru merupakan sikap pengabadian dari keagungan kesenian kita yang lama. Demikianlah pada umumnja kesenian kita yang berkembang di kalangan kaum buruh perkebunan pada saat ini. Terkadang malah hanya merupakan kesenian hiburan semata-mata. Kesenian-kesenian kita yang lama, kesenian yang diwariskan oleh nenek mojang kita, sebagian besar sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan sejarah. Tetapi walaupun demikian, sikap kita terhadap pewarisan tersebut ialah menerima dengan kritis, kita akan menerima yang baru dan mengembangkannya.
Adalah pikiran yang benar, bahwa tanpa mengubah tingkat hidup kaum buruh itu sendiri, kita akan selalu terbentur dan tidak akan lancar mengembangkan kesenian kaum buruh. Tetapi bukanlah berarti bahwa kita pasif dan perkembangan kesenian itu menggantung dan menunggu semata-mata pada datangnya perubahan tingkat hidup kaum buruh. Justru kesenian itu sendiri akan membantu untuk memenangkan perjuangan kita dan dari padanyalah kita mendapatkan suatu pencerminan keadaan yang obyektif, daripadanya kita gali bahan-bahan sebagai kenyataan dari keadaan sosial yang sedang berlaku, yang mencekik kaum buruh. Ini sekaligus akan membukakan mata kaum buruh ke arah kesadaran dan keuletan berjuang membebaskan dirinya dari penindasan. Hal ini juga akan berarti usaha pendekatan kepada organisasi serikat buruh.
Bicara tentang kesenian kaum buruh, adalah berarti membicarakan hampir dari sebagian besar kesenian rakyat Indonesia. Karenanya adalah penting. Jika hal ini kita hubungkan kembali ke atas, berarti kita dihadapkan pada tugas-tugas yang berat yang tidak kalah berat serta pentingnya dengan tugas-tugas yang lain.
Selanjutnya apa tugas kita yang pertama pada saat ini mengenai kesenian?
Jika kita meninjau susunan di tiap tingkatan organisasi kita, nyatalah bahwa pada umumnya tugas di lapangan kebudayaan dipertanggung-jawabkan oleh salah seorang kawan yang khusus. Dengan demikian dan juga dengan adanya pendiskusian yang khusus mengenai soal-soal kesenian secara luas dan mendalam, adalah memberikan kemungkinan yang besar sekali, bahwa kesenian di kalangan kaum buruh akan terus berkembang.
Pemeliharaan sebaiknja teratur. Untuk itu harus dibentuk suatu organisasi kesenian dan jangan sekretaris kebora itu sendiri memimpin langsung di dalamnya. Terkecuali jika keadaan setempat memaksa, dengan menunggu perkembangan selanjutnya. Agar pertumbuhannya tidak timbul tenggelam seperti kehanyutan yang tak tentu arah.
Di samping kita memelihara yang sedang berkembang, kita harus membangun atau memberikan suatu kemungkinan ke arah tumbuhnya kembali yang sudah beku dan yang belum tumbuh, membantu ke arah lebih besar daya kreatif.
Tukar menukar kesenian juga perlu. Artinya memindahkan hasil kemajuan mencipta dari satu daerah ke daerah yang lain. Pemindahan ini perlu, untuk mendorong dan membantu daerah-daerah lain yang belum maju. Tetapi jangan lupa, bahwa yang penting adalah bagaimana daerah-daerah itu sendiri dapat mencipta. Mengenai pemindahan, tentu saja dilakukan dengan cara memuatkan hasil-hasil ciptaan di majalah WS kita. Misalnya tidak hanya sajak-sajak, cerita pendek-cerita pendek, skets-skets, Sandiwara, lagu-lagu baru -- yang pernah diusahakan oleh DPP dimuat dalam WS -- jika babakan Sandiwara menelan banyak halaman dan belum mungkin WS kita memuatnya -- tentu saja tidak akan menjadikan WS kita majalah kesenian--, bisa diperbanyak yang kemudian disebar. Dengan demikian akan lebih pesat perkembangan kesenian di kalangan kaum buruh perkebunan. Kesenianpun harus merata dan meluas di kalangan kaum buruh perkebunan, dengan tidak adanya kesenian yang meluas dan merata, mustahil kesenian akan dapat mencapai mutu yang tinggi. Sebab kesenian yang sudah meluas dan merata, akan timbul suatu konfrontasi ke arah penilaian yang lebih baik, dan ini adalah merupakan suatu kontrol dan perbaikan.
Karenanya dalam soal ini, perlu diadakan sayembara tentang kesenian. Misalnya karang mengarang tentang beberapa hal di atas tadi, yang isinya mencerminkan suatu cita-cita dan perjuangan kaum buruh/rakjat, atau kenyataan-kenyataan yang terjadi pada dan di sekitar kaum buruh, dan yang bersifat mendidik. Hal ini juga akan mendorong ke arah lebih besar daya kreatif.
Pengalaman menunjukkan bahwa rencana-rencana kita tentang rapat-rapat, kursus-kursus, sering mengalami kegagalan dikarenakan adanya soal-soal yang tidak berarti. Misalnya film-film yang oleh majikan didatangkan ke kebun-kebun seminggu atau setengah bulan sekali, yang dalam pada itu waktunya terkadang bersamaan dengan waktu-waktu yang telah kita tentukan untuk rapat. Kaum buruh dengan begitu saja lantas meninggalkan rapat dan terus menonton film tadi. Ya, hal ini mudah dimengerti, bahwa pertama-tama karena mereka haus akan hiburan dan letaknya jauh dari kota-kota hingga terasing dari keramaian. Terutama sekali film memang mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat umum, terlebih di perkebunan.
Tetapi di samping kerugian kita karena mereka tak datang ke kursus atau rapat, kita akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi. Sebab pada umumnya film-film yang berisikan cerita picisan yang tidak mempunyai arti pendidikan sama sekali, bahkan merusak. Oleh karena itu, sesuai dengan tingkat keadaan dan kesadaran kaum buruh itu sendiri, mereka tidak mampu memerangi pengaruh kejahatan yang bertandang di balik layar putih itu. Menyerah!
Satu hal lagi, bahwa di beberapa daerah perkebunan, masih terdapat banyak kesenian-kesenian yang bersifat merusak. Kesenian-kesenian tadi ialah tari muda-mudi yang kebarat-baratan, malah hampir-hampir dapat dikatakan bukan lagi tari muda-mudi, gepok sengol anggota badan, sampai mencium dan sebagainya. Tayuban sampai kepada merusak tandaknya dan mencium karena mabuk minum wisky.
Jadi kegiatan kita di lapangan kesenian seharusnya mengimbangi dan melawan kepalsuan, kecabulan dan kejahatan tadi. Kita memberantas film-film dan pertunjukan-pertunjukan lainnya yang jahat, tetapi dengan tidak mengadakan kegiatan-kegiatan pada kita sendiri di lapangan kesenian, adalah tidak mungkin!
Kesenian kita harus menjadi pendorong dan sumber yang senantiasa mengalirkan kesegaran jiwa, keindahan hidup, dan api perjuangan yang tak kunjung padam. Harus selalu menjiwai langkah-langkah kita dan menjadikan manusia yang berkemanusiaan.
Beberapa uraian secara singkat di atas, hendaklah menjadikan sumbangan bahan diskusi oleh kawan-kawan lebih jauh. Terutama sekali dititik-beratkan pada daerah Sumatera Tengah. Mungkin sekali, kawan akan mengatakan bahwa, itu tidak lengkap, dan sebagainya, dan sebagainya, memang, tulisan ini bermaksud menggugah terhadap kepasifan jang selama ini terasa.
Dan alangkah lebih baiknya jika halaman kebudajaan dalam WS kita ini, kita jadikan lapangan pengolahan tentang kesenian. ***
(dari Warta Sarbupri, No. 3. Thn Ke VII, Achir Maret 1956)
0 komentar: on "Kesenian dan Perjuangan Kita"
Posting Komentar