Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Salam sejahtera !
Nama saya Multatuli.
Datang dari masa lalu.
Dahulu abdi Kerajaan Belanda,
Ditugaskan di Rangkas Bitung,
Ibukota Lebak saat itu.
Satu pengalaman yang penuh ujian,
Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa,
dan hak pribadi diperkosa.
Demi kepentingan penjajahan,
Kerajaan Belanda bersekutu dengan kejahatan ini.
Sia-sia saja mencegahnya.
Kalah dan tidak berdaya.
Saya telah menyaksikan
bagaimana keadilan telah dikalahkan
oleh para penguasa
dengan gaya yang anggun
dan sikap yang gagah.
Tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka.
Dengan bahasa yang rapi
Mereka keluarkan keputusan-keputusan
Yang tidak adil terhadap rakyat.
Serta dengan budi bahasa yang halus
Mereka saling membagi keuntungan keuntungan
Yang mereka dapat dari rakyat
Yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.
Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari Minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun,
sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
menghindari perkataan kotor,
dan selalu berbicara
dalam tata bahasa yang patut,
sambil membanggakan keuntungan besar
di dalam perdagangan kopi,
sebagai hasil yang efisien
dari tanam paksa di tanah jajahan.
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang susksesnya penaklukan dan penjajahan.
Ya, begitulah.
Kami selalu mencuci tangan sebelum makan
dan kami meletakkan serbet di pangkuan kami.
Dengan kemuliaan yang sama pula
kami perintahkan para marsose
agar membantai orang-orang Maluku dan orang-orang Jawa
yang mencoba mempertahankan kedaulatan mereka !
Ya, kami adalah bangsa
yang tidak pernah lupa mencuci tangan.
Kita bisa menjadi sangat lelah
apabila merenungkan gambaran kemanusiaan
dewasa ini.
Orang Belanda dahulu
juga mempunyai keluh kesah yang sama
apabila berbicara tentang keadaan mereka
di jaman penjajahan oleh Spanyol.
Mereka memberi nama yang buruk
kepada Pangeran Alba yang sangat menindas.
Tetapi sekarang apakah mereka lebih baik
dari Pangeran yang jahat itu ?
Tentu tidak hanya saya
yang merasa gelisah
terhadap dawat hitam
yang menodai iman kita.
Pikiran yang lurus menjadi bercela
karena tidak pernah bisa tuntas
dalam menangkal keadilan.
Sementara waktu terus berjalan
dan terus memperlihatkan keluasan ruang
di dalam pemikiran kita
Memang kita telah bisa berpikir
lebih canggih dan komplex,
tetapi belum bisa lebih bebas
tanpa sekat-sekat
dibanding dengan keluasan waktu.
Bagaimana keadilan bisa ditangani
dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat ?
Ya, saya rasa kita memang lelah.
Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini.
Bukan kah keadan keadilan di sini
belum lebih baik dari jaman penjajahan ?
Dahulu rakyat Rangkas Bitung
tidak mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati Lebak.
Sekarang
apakah rakyat kecil
sudah mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati-adipati masa kini ?
Dahulu
Adipati Lebak tidak bisa lolos dari hukum.
Adipati-adipati yang kejam dan serakah sekarang
apakah sudah bisa dituntut oleh hukum ?
Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa ?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka ?
Apakah bangsa tanpa hak hukum
bisa disebut bangsa merdeka ?
Para pemimpin negara-negara maju
bisa menitikkan air mata
apabila mereka berbicara tentang demokrasi
kepada para puteranya.
Tetapi dari kolam renang
dengan sangat saniat dan penuh kewajaran
mereka mengangkat telpon
untuk memberikan dukungan
kepada para tiran dari negara lain
demi keuntungan-keuntungan materi bangsa mereka sendiri.
Oh ! Ya, Tuhan !
Saya mengatakan semua ini
sambil merasakan rasa lemas
yang menghinggapi seluruh tubuh saya
saya mencoba tetap bisa berdiri
meskipun rasanya
tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya.
Saya sedang melawan perasaan sia-sia.
Saya melihat
Negara-negara maju memberikan bantuan ekonomi.
Dan sebagai hasilnya
banyak rakyat dari dunia berkembang
kehilangan tanah mereka,
supaya orang kaya bisa main golf,
atau supaya ada bendungan
yang memberikan sumber tenaga listrik
bagi industri dengan modal asing.
Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan,
mendapat ganti rugi
untuk setiap meter persegi dari tanahnya
dengan uang yang sama nilainya
dengan satu pak sigaret bikinan Amerika.
Barangkali kehadiran saya sekarang
Mulai tidak mengenakkan suasana ?
Keadaan ini dulu sudah saya alami.
Apakah orang seperti saya harus dilanda oleh sejarah ?
Tetapi ingat ;
sementara sejarah selalu melahirkan
masalah ketidak-adilan,
Tetapi ia juga melahirkan
orang seperti saya.
Menyadari hal ini
tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.
Tuan-tuan, para penguasa dunia,
kita sama-sama memahami sejarah.
Senang atau tidak senang
ternyata tuan-tuan tidak bisa
meniadakan saya.
Nama saya Multatuli
saya bukan buku yang bisa dilarang dan dibakar.
Juga bukan benteng yang bisa dihancur-leburkan.
Saya Multatuli ;
Sebagian dari hati nurani tuan-tuan sendiri.
oleh karena itu
saya tidak bisa disama-ratakan dengan tanah.
Tuan-tuan, para penguasa dunia,
apabila ada keadaan yang celaka,
apakah perlu ditambah celaka lagi ?
Pada intinya inilah pertanyaan sejarah
kepada anda semua.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
yang hadir di sini,
setelah memahami sejarah,
saya betul tidak lagi merasa sepi.
Dan memang tidak relevant lagi bagi saya
untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia,
sebab jelaslah sudah kewajiban saya.
Ialah : hadir dan mengalir.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
terimakasih.
Bojong Gede, 5 Nopember 1990
WS. Rendra
0 komentar: on "Demi Orang-orang Rangkasbitung"
Posting Komentar