Buku ini, meski disebut sebagai “buku putih”, tapi bukanlah sebuah pledoi buta terhadap Lekra. Ia adalah ikhtiar memberi kesempatan bagi mereka untuk berbicara apa sesungguhnya yang telah mereka lakukan semasa kurun 15 tahun yang bergemuruh itu.
Jika boleh disandingkan, buku ini adalah jawaban paling serius dari Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI yang disusun DS Moeljanto (DSM) dan Taufik Ismail (TI) sekira tahun 1995 silam.
TI dalam pengantarnya mengatakan bahwa Prahara Budaya disusun dengan ketulusan hati ingin meluruskan sejarah. Buku itu ditujukan bagi pembaca muda yang tak mengalami peristiwa tersebut. Sementara Muhidin dan Rhoma dalam pengantarnya mengatakan bahwa Lekra Tak Membakar Buku ditujukan untuk mengingat kembali peran Lekra dalam kebudayaan Indonesia pada masa itu dengan apa adanya agar generasi yang tak mengalami peristiwa tersebut memperoleh informasi sejarah yang berimbang.
Jika Prahara Budaya bersampul “merah” itu disusun oleh dua budayawan lanjut usia (baca: tua) yang sangat antipati terhadap Lekra, maka buku ini disusun dua orang muda enerjik dari masa yang sudah sangat jauh berbeda tatkala Lekra berdiri kukuh. Meski ketebalan hanya berbeda kurang dari 60 halaman, tapi perbedaan di antara keduanya terlihat prinsipil.
Dalam Prahara Budaya, tak jelas disebutkan posisi DSM dan TI sebagai apa selain nama mereka tercantum disampul—mungkin lebih tepat jika disebut editor jika bukan kolektor—dari kliping koran, majalah, dan makalah kebudayaan di seputar tahun 60-an. Dokumen-dokumen itu disajikan mentah, sedikit pengantar dan komentar di bawah, yang kadang tak ada kaitannya dengan bahasan di atasnya, dan perubahan judul (tanpa penjelasan mengapa diubah dari aslinya) di sana sini.
Tulisan pengantar yang dibuat TI pun lebih banyak mengungkap ketaksetujuannya atas dasar iman dan pengalaman subjektif; tak terungkap argumen yang sifatnya ilmiah. Sistematika penyusunan dan kronologi peristiwanya juga tak tertata dengan baik. Sehingga buku ini sangat jauh dari ilmiah—lebih tepat disebut buku pembunuhan telak Lekra. Lebih banyak menyajikan konflik, saling tuduh, saling tuding, dan maki bak prahara seperti judulnya. Hasilnya adalah sebuah pembangunan opini bahwa Lekra adalah organ kebudayaan kaum preman yang tak berotak, tukang keroyok, dan pembuat onar panggung kebudayaan.
Sementara Lekra Tak Membakar Buku, dihadirkan dengan sistematika dan kronologi yang runtut. Mulai dari apa dan bagaimana Lekra berdiri, kemudian riwayat Harian Rakjat sebagai corong utama kerja-kerja seniman Lekra, dan lantas satu demi satu diuraikan bagaimana kerja Lekra dalam bidang sastra, film, senirupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, buku dan penerbitan. Melalui riset mendalam (seperti yang selalu diajarkan seniman organik Lekra), sepak-terjang seniman dan pekerja budaya Lekra menghalau serangan imperialisme budaya dan modal yang bersekutu dengan kekuatan feodalisme lokal diulas ulang.
Sambil sesekali memasukkan kutipan-kutipan dari sumber asli disertai catatan rujukannya. Juga dilampirkan keterangan akronim, berikut data-data hasil rapat, susunan pengurus, anggota pimpinan pusat, pengumuman, dan keputusan-keputusan penting Lekra dari rapat-rapatnya. Sungguh ini merupakan buku pertama mengenai Lekra yang sangat komprehensif.
Kerja Kreatif Seniman Lekra Di Panggung Kebudayaan
Dalam “panggung” Lekra Tak membakar Buku ini, terungkap banyak realitas menarik yang banyak tak diketahui publik. Di antaranya adalah instruksi pada semua utusan Kongres I Lekra dari seluruh cabang di Indonesia pada Januari 1959 agar tak hanya membawa bahan untuk diperdebatkan, tetapi juga membawa alat musik, mainan anak-anak, kerajinan tangan, pakaian daerah, cerita-cerita, ornamen-ornamen, penerbitan, dan lagu-lagu daerah masing-masing. Semua itu digelar dalam sebuah bazar besar sehari sebelum hingga kongres berakhir. Pengunjung pameran mencapai 15000/malam; sebuah jumlah yang tak kecil pada masa itu.
Tak sekadar memajangnya, mereka juga mematok program untuk menginventarisasi kekayaan-kekayaan cipta budaya Nusantara yang terserak ribuan jumlahnya itu sehingga tak dicaplok bangsa lain seperti kasus lagu Rasa Sayange atau Reog Ponorogo beberapa waktu lalu.
Seniman-seniman Lekra juga giat menyerukan agar pemerintah memperkeras sikap dengan gambar-gambar dan lukisan cabul dalam bentuk dan kegunaan apa pun seperti ilustrasi, poster, dekor, ornamen, tekstil, dan sebagainya. Kita tak perlu ribut dengan kontroversi RUU pornografi hari ini jika saja mendengarakan apa kata seniman Lekra puluhan tahun silam.
Lekra demikian tegasnya melakukan kerja budaya yang segaris dengan prinsip manipol, menentang keras imperialism dan memberdayakan kebudayaan dari dan untuk rakyat. Kesenian-kesenian pertunjukan yang mulanya hanya dapat dinikmati kalangan terbatas karena kungkungan budaya feodalisme mulai dikembalikan dan dibuka untuk bisa dinikmati rakyat seluas-luasnya. Keprihatinan akan fenomena miskinnya anak-anak kecil akan lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka sehingga mereka lebih banyak menyanyikan lagu-lagu dewasa tentang cinta-cintaan yang cengeng, mendorong Lekra untuk membahasnya secara serius dalam Konferensi Lembaga Musik Indonesia (LMI/Lekra). Fenomena ini tak jauh berbeda dengan kondisi nyata jagat musik kita saat ini. Setiap hari di televisi, kita disuguhi anak-anak kecil yang beradu suara dalam lomba menyanyi, dan lagu-lagunya jenis lagu dewasa. Adakah yang peduli?
Lekra tak membiarkan anggotanya menempuh jalan kebudayaan dengan ugal-ugalan. Setiap seniman mesti bertanggung jawab pada rakyat yang menjadi basis dayaciptanya. Lekra juga menekankan agar dalam proses mencipta (seperti sastra) selalu melalui riset ilmiah bukan ongkang-ongkang kaki sambil merokok dan menenggak alkohol. Sikap Lekra Jelas di sini bagaimana Lekra berpihak dalam peran budayanya dengan memundaki tiga asas: Bekerja Baik, Belajar Baik, Dan Bermoral Baik.
Di bidang perbukuan, Lekra menunjukkan bahwa pameran buku digelar bukan semata untuk kepentingan bisnis, tetapi juga ideologi. Dalam pameran bisa dilihat siapa saja yang mengikuti pameran dan buku-buku apa saja yang dipamerkan. Disinilah perang ideology propaganda politik melalui media literer itu terjadi.
Lekra Tak Membakar Buku adalah sebuah pembelaan atas tuduhan yang sering dilontarkan “lawan” budayanya pada masa itu. Salah satunya adalah bahwa Lekra organ budaya pembakar buku. Buku ini bersikap jelas dan tegas: TIDAK! Lekra percaya bahwa buku mampu mengubah dunia, tapi tidak sembarang buku. Buku yang mampu “mengubah” adalah buku yang isinya digali langsung dari perikehidupan rakyat melalui gerakan turun ke bawah dan bukan mimpi-mimpi kosong yang melulu menjual kepalsuan hidup dari kamar salon.
Lekra memang melakukan “teror” atas buku-buku penandatangan Manikebu dan juga pentolan-pentolan Masjumi dan PSI yang terlarang. Tapi Rhoma dan Muhidin ini memberi dalih bahwa dari lembar-lembar Harian Rakjat tak ada ditemukan bukti-bukti bahwa Lekra secara individu maupun kelembagaan telah mengorganisir pembakaran buku yang mereka tak sukai.
Lekra dan PKI ‘Buku putih’ ini juga sekaligus meluruskan asumsi publik akan posisi Lekra terhadap Partai Komnis Indonesia. Jika selama ini Lekra selalu diidentikkan dengan PKI, maka dua penulis muda ini mencoba memberikan perspektif lain.
Dalam Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang sepenuhnya diselenggarakan oleh PKI, Memang banyak seniman-seniman Lekra yang turut terlibat, namun kapasitasnya sebagai individu yang mengaku sebagai seniman “progresif revolusioner” dan bukan sebagai Lekra secara kelembagaan. Dalam perjalanannya, tak pernah ada nama Lekra disebut-sebut dalam kongres ini.
Tak pernah ada bukti factual bahwa Lekra pernah menjadi underbow PKI secara institusional. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI. Akan tetapi, Lekra juga tidak sepenuhnya bersih dari pengaruh PKI. Lebih tepat jika hubungan Lekra-PKI ini disebut sebagai hubungan ideologis, demikian agumen Muhidin-Rhoma.
Terlepas dari beberapa kesalahan ketik di sana sini yang cukup mengganggu kenyamanan membaca, kita layak member apresisi pada buku ini sebagai sebuah dokumen sejarah yang disusun anak muda generasi sekarang dengan “semangat ilmu pengetahuan” dan keseriusan di atas rata-rata. Muhidin dan Rhoma menasbihkan buku ini sebagai sebuah dokumen pelurusan sejarah kebudayaan kita yang hilang dan terputus atas nama dendam politik yang terus diwariskan pada generasi muda.
0 komentar: on "Bedah Buku "Lekra Tak Membakar Buku""
Posting Komentar